RUANG LINGKUP DAN FENOMENA ALIH KODE DAN
CAMPUR KODE DI DESA GEGER KECAMATAN KEDUNGADEM
KABUPATEN BOJONEGORO
Tugas
Matakuliah
Sosiolingustik
Dosen
Pengampu Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum.
Oleh:
Cahyo
Hasanudin
S841302004
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
SEPTEMBER
2013
KATA
PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. yang telah melimpahkan rahmat, karunia, nikmat
dan kasih sayang-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “ruang
lingkup dan fenomena alih kode dan campur kode di Desa Geger Kecamatan Kedungadem
Kabupaten Bojonegoro”.
Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk melengkapi tugas matakuliah
kajian budaya pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penyusunan makalah ini penulis merasa mendapat banyak bantuan,
petunjuk dan saran dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1.
Ibu Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum.selaku
dosen matakuliah Sosiolingustik.
2.
Pihak
pengelola perpustakaan Universitas Negeri Surakarta yang telah menyediakan dan meminjamkan buku-buku
sebagai literatur dalam penyempurnaan skripsi ini,
Kepada mereka semua, hanya ungkapan terima
kasih dan doa yang dapat penulis
persembahkan semoga semua yang telah mereka berikan kepada penulis sebagai
ibadah yang ternilai harganya dimata masyarakat maupun penulis sendiri.
Penulis
menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu, kritik dan
saran yang sifatnya konstruktif sangat diharapkan oleh penulis. Akhirnya
penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
berkompeten. Amin.
Surakarta, September
2013
Penulis,
Cahyo Hasanudin
S841302004
DAFTAR
ISI
Isi Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
KATA
PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN.............................................................................. 4
1.1 Latar Belakang............................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 5
1.3 Tujuan........................................................................................... 5
BAB II. PEMBAHASAN................................................................................. 6
2.1 Pengertian alih kode dan campur kode itu................................... 6
2.2 Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode........ ... 8
2.3 Faktor-faktor penyebab dan tujuan melakukan alih kode
atau campur kode......................................................................... 8
2.4 Sikap bahasa dan pemilihan bahasa.............................................. 9
2.5 Fenomena alih kode dan campur kode di Desa
Geger
.................................................................................................. Kecamatan
Kedungadem Kabupaten Bojonegoro....................................................................................... .. 11
BAB III. PENUTUP.......................................................................................... 18
3.1 Simpulan...................................................................................... 18
3.2 Saran............................................................................................ 19
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai
seseorang yang terlibat dengan penggunaan dua bahasa, dan juga terlibat dengan
dua budaya, seorang dwibahasawan tentulah tidak terlepas dari akibat-akibat
penggunaan dua bahasa itu. Salah satu akibat dari kedwibahasaan adalah
adanya tumpang tindih antara kedua sistem bahasa yang dipakainya atau
digunakannya unsur-unsur dari bahasa yang satu pada penggunaan bahasa yang
lain.
Bahasa
merupakan lambang yang arbriter (mana suka), tetapi konvensional. Sehingga pada
praktiknya, manusia dalam menggunakan bahasa selalu menyesuaikan diri sesuai
dengan situasi yang ada. Situasi tersebut dapat berupa “siapa berbicara, dengan
bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Oleh karena itulah,
dalam setiap komunikasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain
selalu terjadi peristiwa pergantian bahasa yang disebut dengan alih kode dan
pencampuran bahasa yang disebut dengan campur kode.
Malmaker
(1992: 61-61) membedakan campuran sistem linguistik ini menjadi dua:
1.
Alih kode (code switching), yaitu beralih
dari satu bahasa ke dalam bahasa lain dalam satu ujaran atau percakapan; dan
2.
Campur kode (code mixing/interference), yaitu
penggunaan unsur-unsur bahasa, dari satu bahasa melalui ujaran khusus ke dalam
bahasa yang lain.
Dalam
makalah ini, penulis akan menganalisis pergantian bahasa (alih kode) dan
pencampuran bahasa (campur kode) yang terjadi di lingkungan sekitar penulis,
tepatnya di Desa Tangkisan, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga. Alasan
penulis mengambil contoh alih kode dan campur kode yang terjadi dalam
masyarakat sekitar penulis karena alih kode dan campur kode tersebut akrab
dengan penulis dan menarik untuk diteliti. Hal yang menarik dari alih kode dan
campur kode yang terjadi di lingkungan penulis adalah beragamnya bahasa dan
situasi yang mereka gunakan sehingga pada perkembangannya alih kode dan campur
kode tersebut akan mempunyai keunikan tersendiri yang mungkin tidak kita
dapatkan di daerah lain.
1.2 Rumusan
Masalah
Bertolak
dari latar belakang masalah yang diuraikan di atas maka permasalahan ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1.
Apakah pengertian alih kode dan campur kode
itu?
2.
Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur
Kode?
3.
Faktor-faktor penyebab dan tujuan melakukan
alih kode atau campur kode?
4.
Apa sikap bahasa dan pemilihan bahasa?
5.
Fenomena alih kode dan campur kode di Desa
Geger Kecamatan Kedungadem Kabupaten Bojonegoro?
1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk.
1.
Mengetahui pengertian alih kode dan campur
kode itu.
2.
Mengetahui Persamaan dan Perbedaan Alih Kode
dan Campur Kode.
3.
Mengetahui Faktor-faktor penyebab dan tujuan
melakukan alih kode atau campur kode.
4.
Mengetahui sikap bahasa dan pemilihan bahasa.
5.
Mengetahui Fenomena alih kode dan campur kode
di Desa Geger Kecamatan Kedungadem Kabupaten Bojonegoro.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian alih kode dan campur kode itu
1.
Pengertian alih kode
Alih
kode adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya
penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode
merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam
masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang
penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing
bahasa masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing
fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai
gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Suwito (1985)
membagi alih kode menjadi dua, yaitu
a)
Alih Kode Ekstern. Bila
alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau
sebaliknya dan
b)
Alih Kode Intern.
Bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke
krama.
Menurut
Appel (1976: 79) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 107), alih kode
adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Perubahan
situasi tersebut bisa terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah pembicara
atau penutur, pendengar atau lawan tutur, perubahan situasi dengan hadirnya
orang ketiga, perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan perubahan
topik pembicaraan. Oleh karena itulah, fishman (1976: 15) dalam Abdul Chaer dan
Leonie Agustina (2004: 108) mengatakan bahwa seorang pemakai bahasa itu harus
memperhatikan situasi tutur yang berupa “siapa berbicara, dengan bahasa apa,
kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”.
2.
Pengertian campur kode
Campur
kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan
mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya
berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat
pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau
situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam
bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan
bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga
konvergense kebahasaan, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal
balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Campur kode dibagi menjadi
dua, yaitu:
a)
Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
b)
Campur kode ke luar (outer code-mixing):
campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Bahasa
dikatakan telah tercampur dengan kode lain apabila dalam peristiwa tutur itu
hanya terdapat serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotomian
sebagai sebuah kode (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 114). Sehubungan
dengan hal tersebut, Thelander (1976: 103) dalam Abdul Chaer dan Leonie
Agustina (2004: 115) juga menjelaskan bahwa campur kode terjadi apabila dalam
suatu peristiwa tutur, klausa-klausa mapun frase-frase yang digunakan terdiri
dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan
masing-masing klausa atau frase itu tiada lagi mendukung fungsi
sendiri-sendiri.
Selain
itu, Fasold (1984) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 115)
berpendapat bahwa seseorang dikatakan telah melakukan campur kode jika dia
menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa.
2.2 Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur
Kode
Persamaan
alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam
masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat
perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa
yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar,
dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah
kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi,
sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut
hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah
kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar.
Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan
unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander
mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur
terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut
sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa
yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran dan masing-masing klausa
atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur
kode.
2.3 Faktor-faktor penyebab dan tujuan melakukan
alih kode atau campur kode
Beberapa
faktor penyebab terjadinya alih kode atau campur kode dipengaruhi oleh konteks
dan situasi berbahasa yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Pembicara dan Pribadi Pembicara
Pembicara
kadang-kadang sengaja beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai
maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai
maksud dan tujuan beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi
pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi
non-formal yang tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara kadang-kadang
melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan.
b.
Mitra Bicara
Mitra
bicara dapat berupa individu atau kelompok. Dalam masyarakat bilingual, seorang
pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat beralih kode menggunakan
bahasa lain dengan mitra bicaranya yang mempunyai latar belakang bahasa daerah
yang sama. Misalnya, pembicara dan mitra bicara menggunakan bahasa Jawa beralih
kode menggunakan bahasa Inggris karena hadirnya seorang penutur Inggris yang
memasuki situasi pembicaraan.
c.
Tempat Tinggal dan Waktu Pembicaraan Berlangsung
Pembicaraan
yang terjadi di sebuah terminal bus di Indonesia, misalnya, dilakukan oleh
masyarakat dari berbagai etnis. Dalam masyarakat yang begitu kompleks semacam
itu akan timbul banyak alih kode dan campur kode. Alih bahasa atau campur kode
itu dapat terjadi dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dan dari
tingkat tutur suatu bahasa ke tingkat tutur bahasa yang lain.
e.
Topik
Dengan
menggunakan topik tertentu, suatu interaksi komunikasi dapat berjalan dengan
lancar. Alih kode dan campur kode dapat terjadi karena faktor topik. Topik
ilmiah disampaikan dalam situasi formal dengan menggunakan ragam formal.
2.4 Sikap bahasa dan pemilihan bahasa
a. Sikap
Bahasa
Dalam
bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri
yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang
dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai
reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Sesungguhnya, sikap itu adalah
fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau
perilaku.
Menurut
Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan saraf, yang terbentuk melalui
pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi
seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu.
Ketiga
ciri sikap bahasa yang dikemukakan Garvin dan Mathiot itu adalah (1) kesetiaan
bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan
bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengeruh bahasa lain, (2)
kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya
dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, (3)
kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang
menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun dan merupakan faktor yang sangat
besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunkan bahasa (language
use).
b. Pemilihan
Bahasa
Menurut
Fasold (1984) hal pertama yang terbayang bila kita memikirkan bahasa adalah
”bahasa keseluruhan” (whole languages). Dalam hal memilih ini ada tiga jenis
pilihan yang dapat dilakukan, yaitu, pertama dengan alih kode, artinya,
menggunakan satu bahasa pada satu keperluan, dan menggunakan bahasa yang lain
pada keperluan lain. Kedua dengan melakukan campur kode, artinya, menggunakan
satu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan dari bahasa lain.
Ketiga, dengan memlilih satu variasi bahasa yang sama.
Penelitian
terhadap pemilihan bahasa menurut Fasold dapat dilakukan berdasarkan tiga
pendekatan disiplin ilmu, yaitu berdasarkan pendekatan sosiologi, pendekatan
psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Di Indonesia secara umum
digunakan tiga buah bahasa dengan tiga domain sasaran, yaitu bahasa Indonesia,
bahasa daerah, dan bahasa asing.
2.5 Fenomena alih kode dan campur kode di Desa
Geger Kecamatan Kedungadem Kabupaten Bojonegoro
1. Fenomena alih Kode
1.
Alih Kode karena Pembicara atau penutur
Seorang pembicara atau
penutur seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan “keuntungan” atau
“manfaat” dari tindakannya itu.
Contohnya:
Latar belakang : kantor kecamatan Mrebet
Para pembicara : petugas pembuat KTP dan KK,
Bapak Nanang (salah seorangyang ingin membuat KTP dan KK), Nafi’ dan Umi (orang
yang sedang mengantri untuk membuat KTP dan KK).
Topik : syarat membuat KTP
Sebab alih kode : tidak ingin bahasa yang
diucapkan diketahui maksudnya oleh orang lain.
Peristiwa tutur : Petugas pembuat KTP dan
KK : Pak, niki datane putra Bapak nopo nggih? Damel KTP-ne tahun 2009 mawon,
niki umure kirang setahun. (Pak, apa ini data putra Bapak? Membuat KTPnya tahun
2009 saja, ini umurnya kurang satu tahun).
Bapak Nanang : Nggih sampun (ya sudah). Petugas pembuat KTP dan
KK : Damel KTP-ne kangge keperluan nopo? (Membuat KTP untuk keperluan apa?)
Bapak Nanang : Nggih….sekalian damel supados mboten wira-wiri
teng mriki (ya….sekalian buat supaya tidak bolak-balik ke sini).
Mendengar percakapan tersebut, Nafi’ dan Umi yang sedang mengantri untuk
membuat KTP berkomentar, tetapi dengan menggunakan alih kode ke dalam bahasa
Inggris supaya petugas pembuat KTP dan KK dan Bapak Nanang tidak tahu dengan
apa yang dibicarakan oleh keduanya.
Nafi’ : Um….it’s too early to make KTP
(Um….itu terlalu cepat untuk membuat KTP).
Umi : Maybe, his child wants to get married
(mungkin anaknya akan menikah).
Nafi’ : Doesn’t he know that making KTP someone’s age
is about 17 years old? (apakah bapak itu tidak tahu bahwa untuk membuat KTP
umur seseorang kira-kira harus 17 tahun?)
Umi : I don’t know (saya tidak tahu).
Nafi’ : Luckily, the officer is very careful.
(untungnya, petugas itu sangat cermat)
Berdasarkan
ilustrasi di atas, dapat kita ketahui bahwa alih kode yang dilakukan oleh Nafi’
dan Umi tersebut dimaksudkan supaya petugas pembuat KTP dan KK dan Bapak Nanang
tidak mengetahui kalau mereka sedang dibicarakan oleh Nafi’ dan Umi sehingga
mereka tidak tersinggung. Akan tetapi, jika Nafi’ dan Umi tidak menggunakan
alih kode ke dalam bahasa Inggris, mungkin petugas pembuat KTP dan KK dan Bapak
Nanang akan tersinggung karena mereka merasa dibicarakan oleh Nafi’ dan Umi.
Oleh karena itu, alih kode yang dilakukan oleh Nafi’ dan Umi adalah untuk
memperoleh “keuntungan” atau “manfaat”.
2. Alih Kode karena Pendengar atau Lawan
Tutur
Pendengar
atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Hal ini terjadi karena
si penutur ingin menghormati lawan tuturnya. Dalam hal ini lawan tutur
merupakan orang yang lebih tua dan orang yang dihormati oleh si penutur.
Misalnya:
Latar belakang : depan TV di rumah eyang.
Para pembicara : Nilna, Nana, dan eyang.Topik : acara TV yang berjudul “Marimar”
Sebab alih kode : menghormati orang yang
lebih tua (eyang)
Peristiwa tutur :
Nilna
: donge Sergio teli aja mabok-mabokan
Angger mabok-mabokan kan dadine ora sadar. Masa, Inosensia diambung ndarani
Marimar? (seharusnya Sergio tidak mabuk-mabukan. Kalau mabuk-mabukan kan
menjadi tidak sadar. Inosensia dicium karena disangka Marimar).
Nilna : lah….kuwe kan wis diatur neng sutradarane.
Nggo ngapa pusing-pusing! (itu kan sudah diatur oleh sutradaranya. Untuk apa
pusing-pusing!).
Nilna : wadeh, deh ! ya wis lah……..mengko manden
rampunge bahagia (sebel, deh ! ya sudah lah…..nanti juga pasti berakhir dengan
bahagia).
Eyang : ana apa sih, berisik banget? (ada apa sih, kok
berisik?)
Nilna :
niki yang, film Marimar (ini nek, film Marimar)
Eyang : film Indonesia apa?
Nana : sanes yang, niki film Filipina (bukan nek, ini
film Filipina).
Eyang : deneng rame temen? (kok ramai banget?)
Nana : Nggih yang, ceritane sae sanget! (iya nek, ceritanya bagus sekali).
Berdasarkan
ilustrasi di atas, Nilna dan Nana beralih kode menggunakan bahasa kromo karena
menghormati orang yang lebih tua (neneknya). Jika mereka tetap menggunakan
bahasa ngoko, pasti mereka akan dicap sebagai anak yang tidak bisa menghormati
orang yang lebih tua.
3. Perubahan Situasi dengan Hadirnya
Orang Ketiga
Kehadiran
orang ketiga atau orang lain yang tidak tahu bahasa yang digunakan oleh penutur
dan lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode.
Misalnya:
Latar belakang : ruang tamu
Para pembicara : Umi dan Niam yang sejak
kecil hidup di wilayah karesidenan Banyumas, dan Susmiati yang sejak kecil
hidup di Jakarta sehingga dia tidak dapat berbahasa Jawa Banyumasan.
Topik :
Objek wisata Ancol
Sebab alih kode : hadirnya orang ketiga,
yaitu Susmiati yang tidak bisa berbahasa Jawa Banyumasan karena sejak kecil
hidup di Jakarta.
Peristiwa tutur :
Umi : Am, Ancol apik banget ya! (Am, Ancol bagus
sekali ya!)
Ko wis tau maring nganah urung? (kamu sudah pernah ke sana belum?
Niam : urung (belum). Apa ko wis pernah maring
nganah? (apa kamu sudah pernah ke sana?)
Umi : Urung sih, aku cuma weruh neng TV karo
diceritani Susmiati (belum sih, aku hanya melihat di TV dan mendapat cerita
dari Susmiati).
Niam : aku dadine ya, pengin diceritani (aku juga
ingin mendapat cerita itu).
Umi :
La kae, Susmiati (Itu Susmiati)
Niam : Hai, Sus. Mau kemana? Aku minta diceritain
tentang Ancol dong?
Susmiati :
iya beres. Tapi kapan-kapan saja yah!
Soalnya aku lagi ada keperluan nich.
Niam :
oke deh.
Dari
ilustrasi di atas, dapat kita lihat bahwa alih kode terjadi pada saat hadirnya
orang ketiga, yaitu Susmiati yang memang sejak kecil sudah hidup di Jakarta
sehingga dia tidak bisa bahasa Jawa Banyumasan. Jika Umi dan Niam tidak beralih
kode dari bahasa Jawa Banyumasan ke bahasa Indonesia, mungkin komunikasi dengan
Susmiati tidak akan berjalan lancar karena dia tidak paham dengan bahasa yang
digunakan oleh Umi dan Niam.
4.
Perubahan dari Formal ke Informal atau Sebaliknya
Contoh:
Latar belakang : rumah ketua RT 02/01 desa
Tangkisan.
Para pembicara : Hasbi (Ketua Ikatan
Remaja), Kusniah (Sekretaris Ikatan Remaja), Ahmad, Dedi, dan Dina (Bendahara
Ikatan Remaja).
Topik :
rapat penyelenggaraan pengajian halal
bihalal.
Sebab alih kode : hal-hal yang dibicarakan adalah hal-hal yang serius.
Peristiwa tutur : Sebelum pengurus ikatan
remaja yang lain datang, Kusniah dan Hasbi bercakap-cakap mengenai masalah
pribadi dengan ragam informal.
Kusniah :
Bi, jere ko seneng karo batir sekolahe ko
ya?
(Bi, katanya kamu naksir teman sekolahmu ya?)
Hasbi :
Jere sapa? (kata siapa?)
Kusniah :
ya pokoke. Setelah pembicaraan itu,
datang Ahmad, Dedi, dan Dina. Pembicaraan antara Kusniah dan Hasbi pun berhenti
dan berganti ke ragam formal.
Hasbi :
wah….teman-teman sudah datang, ayo kita
mulai diskusinya.
Ahmad : ngomong-ngomong, sebentar lagi kan lebaran, kita seharusnya
memfasilitasi para pemuda untuk bersilaturrahim supaya terjalin suasana
kekeluargaan.
Dedi :
betul, saya setuju. Bagaimana kalau kita
mengadakan pengajian halal bihalal saja?
Kusniah :
itu ide bagus. Aku setuju sekali.
Hasbi :
tapi dari mana kita memperoleh dananya?
Dina :
mudah saja, kita bisa menarik iuran dari
semua warga.
Hasbi :
betul, aku setuju. Kapan kita mulai
beraksi?
Kusniah :
besok saja kita mulai menyusun proposal
kegiatannya. Semakin cepat semakin baik.
Dari ilustrasi di atas,
dapat kita lihat bahwa sebelum diskusi dimulai, situasinya adalah tidak formal;
tetapi begitu diskusi dimulai situasi berubah menjadi formal, maka terjadilah
peralihan kode yang awalnya dari bahasa ngoko Banyumasan lalu berubah menjadi
bahasa Indonesia ragam formal.
5.
Perubahan Topik Pembicaraan
Perubahan
topik pembicaraan dapat kita lihat pula pada contoh nomor 4. Dari ilustrasi
contoh nomor 4 di atas, dapat kita lihat ketika topiknya tentang masalah
pribadi, maka percakapan itu berlangsung dalam bahasa Jawa Banyumasan. Tetapi
ketika topiknya bergeser pada diskusi tentang rencana penyelenggaraan pengajian
halal bihalal, terjadilah alih kode dari bahasa Jawa Banyumasan ke bahasa
Indonesia.
2. Fenomena campur Kode
Di
sebuah ruang tamu, tepatnya di depan TV ada Tito (yang sejak SMA sampai kuliah
mengambil jurusan bahasa Inggris) dan Andi melakukan sebuah percakapan. Mereka
berdebat masalah keterlambatan mengerjakan tugas.
Tito :
donge ko angger ngerjakna tugas li aja
mepet-mepet supaya hasile ya apik. Jere kepengin dadi ‘a good writer’.
(seharusnya kamu kalau mengerjakan tugas itu tidak mendadak supaya hasilnya
juga bagus. Katanya kamu ingin menjadi ‘a good writer’).
Andi :
Iya sih, tapi kepriwe maning. Idene nembe
muncul angger lagi kepepet.
(iya sih, tapi bagaimana lagi. Ide baru muncul kalau lagi terjepit).
Tito :
iya, tapi diusahakna lah…
Angger ko pusing kan aku dadi kena batune juga
(iya, tapi diusahakanlah……kalau kamu pusing kan aku jadi terkena imbasnya
juga).
Berdasarkan
percakapan di atas, tampak bahwa Tito telah melakukan campur kode yang terlihat
pada frase ‘a good writer’. Campur kode di atas dilakukan oleh Tito karena dia
sudah terbiasa dengan pemakaian bahasa Inggris sehingga secara sadar maupun
tidak sadar, bahasa Inggris itu akan selalu terbawa ke dalam bahasa yang dia
pakai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Alih
kode (code switching), yaitu beralih dari satu bahasa ke dalam bahasa lain dalam
satu ujaran atau percakapan. Campur kode (code mixing/interference), yaitu
penggunaan unsur-unsur bahasa, dari satu bahasa melalui ujaran khusus ke dalam
bahasa yang lain.
Thelander
mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur
terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut
sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa
yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran dan masing-masing klausa
atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur
kode.
Faktor
penyebab terjadinya alih kode atau campur kode dipengaruhi oleh konteks dan
situasi berbahasa.
Garvin
dan Mathiot itu adalah (1) kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong
masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah
adanya pengeruh bahasa lain, (2) kebanggaan bahasa (language pride) yang
mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang
identitas dan kesatuan masyarakat.
Ada
tiga jenis pilihan yang dapat dilakukan, yaitu, pertama dengan alih
kode, campur kode, dan memlilih satu variasi bahasa yang
sama. Alih kode dan campur kode pada dasarnya sama-sama merupakan peristiwa
yang lazim terjadi dalam masyarakat bilingual. Alih kode terjadi karena adanya
pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur, perubahan situasi dengan
hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan
perubahan topik pembicaraan. Alih kode selalu digunakan oleh seseorang
berdasarkan situasi tutur “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa,
kapan, dan dengan tujuan apa”.
Sedangkan
campur kode terjadi karena seseorang memakai satu kata atau satu frase dari
satu bahasa. Campur kode biasanya digunakan karena kebiasaan si penutur dalam
memakai bahasa tertentu yang secara sadar maupun tidak sadar akan masuk ke
dalam bahasa yang dia pakai.
3.2 Saran
Disarankan
agar untuk
1. Menggunakan
bahasa sesuai dengan konteksnya.
2. Melestarikan
bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
3.
Menumbuhkan jiwa nasionalisme dengan menerapkan
bahasa Indonesia di manapun dan kapanpun.
DAFTAR PUSTAKA
–
Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 2004. Sosioliinguistik: Perkenalan Awal.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
–
Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik,
Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
–
Suwito. 1983. Awal Pengantar
Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta: Andi.