Monday, 30 September 2013

topik, tujuan, dan kerangka berpikir


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. yang telah melimpahkan rahmat, karunia, nikmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan modul yang berjudul “Topik, Tujuan dan Kerangka Berpikir”.
Penyusunan modul ini dimaksudkan untuk melengkapi tugas matakuliah Linguistik dan Tata Bahasa Baku pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penyusunan modul ini penulis merasa mendapat banyak bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1.      Bapak Dr. Kundharu Saddono, M. Hum. selaku dosen matakuliah Linguistik dan Tata Bahasa Baku.
2.      Pihak pengelola perpustakaan Universitas Negeri Surakarta yang telah menyediakan dan meminjamkan buku-buku sebagai literatur dalam penyempurnaan skripsi ini,
3.      Teman-teman angkatan 2013 yang telah berpartisipasi untuk memberikan masukan dan dukungan dan pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Kepada mereka semua, hanya ungkapan terima kasih dan doa  yang dapat penulis persembahkan semoga semua yang telah mereka berikan kepada penulis sebagai ibadah yang ternilai harganya dimata masyarakat maupun penulis sendiri.
 Penulis menyadari modul ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat diharapkan oleh penulis. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkompeten. Amin. 
Surakarta,   Mei 2013
Penulis,




Cahyo Hasanudin
S841302004

lebih lengkapnya klik di sini

Thursday, 26 September 2013

kajian puisi, prosa fiksi, dan drama

Istilah puisi kamar dan puisi auditorium dapat kita jumpai dalam buku kumpulan puisi Hukla karya Leon Agusta. Puisi kamar  ialah puisi yang cocok dibaca sendirian atau dengan satu atau dua pendengar saja di dalam kamar. Sedangkan  puisi auditorium  adalah puisi yang cocok untuk dibaca di auditorium, di mimbar yang  jumlah pendengarnya dapat ratusan orang. Puisi-puisi auditorium disebut juga puisi Hukla ( puisi yang mementingkan suara atau serangkaian surat ). Sajak-sajak Leon Agusta banyak yang dimaksudkan untuk sajak auditorium.
Kebanyakan puisi Sapardi Djoko Damono bisa dikategorikan  dalam jenis puisi kamar . Salah satu contoh untuk disebutkan adalah puisi yang berjudul “Aku Ingin” selengkapnya baca di sini

Tuesday, 24 September 2013

contoh RPP berkarakter

perangkat pembelajaran Bahasa Indonesia:
Silabus
RPP 1
RPP 2

tugas matakuliah BIND21K

tugas dikumpulkan pada tanggal 2 Oktober 2013.
1. Buatlah contoh paragraf generalisasi dengan tema Bojonegoro Matoh
2. Buatlah contoh Paragraf analogi dengan tema Kampus STIKES Bahrul 'Ulum
3. Buatlah contoh Paragraf dengan pola akibat sebab dengan tema keperawatan
4. Buatlah contoh silogisme. dan tentukan preposisi, premis dan termnya (sesuai dengan contoh di slide)
5. Buatlah entimem dari silogisme nomor 4.

tugas dapat ditulis tangan atau diketik, namun tidak boleh terlambat dalam mengumpulkan!

matakuliah BIND21K

pertemuan pertama: kedudukan bahasa Indonesia
peremuan ke dua: penalaran
pertemuan ke tiga: pilihan kata dan pengertian
pertemuan ke empat: membaca kritis
pertemuan ke lima: menulis surat dinas
pertemuan ke enam: penulisan karya ilmiah
pertemuan ke tujuh: proposal penelitian
pertemuan ke delapan: pidato
pertemuan ke sembilan: dapus

materi tambahan : ejaan

analisis

RUANG LINGKUP DAN FENOMENA ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DI DESA GEGER KECAMATAN KEDUNGADEM KABUPATEN BOJONEGORO


RUANG LINGKUP DAN FENOMENA ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DI DESA GEGER KECAMATAN KEDUNGADEM
KABUPATEN BOJONEGORO


Tugas Matakuliah
Sosiolingustik



Dosen Pengampu Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum.




 



Oleh:
Cahyo Hasanudin
S841302004





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
SEPTEMBER 2013
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. yang telah melimpahkan rahmat, karunia, nikmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “ruang lingkup dan fenomena alih kode dan campur kode di Desa Geger Kecamatan Kedungadem Kabupaten Bojonegoro”.
Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk melengkapi tugas matakuliah kajian budaya pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam penyusunan makalah ini penulis merasa mendapat banyak bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1.      Ibu Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum.selaku dosen matakuliah Sosiolingustik.
2.      Pihak pengelola perpustakaan Universitas Negeri Surakarta yang telah menyediakan dan meminjamkan buku-buku sebagai literatur dalam penyempurnaan skripsi ini,
Kepada mereka semua, hanya ungkapan terima kasih dan doa  yang dapat penulis persembahkan semoga semua yang telah mereka berikan kepada penulis sebagai ibadah yang ternilai harganya dimata masyarakat maupun penulis sendiri.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat diharapkan oleh penulis. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkompeten. Amin. 
Surakarta,   September 2013
Penulis,



Cahyo Hasanudin
S841302004
DAFTAR ISI

Isi                                                                                                                Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I.     PENDAHULUAN.............................................................................. 4
                 1.1  Latar Belakang............................................................................. 4
                 1.2  Rumusan Masalah......................................................................... 5
                 1.3  Tujuan........................................................................................... 5
BAB II.   PEMBAHASAN................................................................................. 6
                 2.1  Pengertian alih kode dan campur kode itu................................... 6
                 2.2  Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode........ ... 8
                 2.3  Faktor-faktor penyebab dan tujuan melakukan alih kode
                        atau campur kode......................................................................... 8
2.4  Sikap bahasa dan pemilihan bahasa.............................................. 9
2.5  Fenomena alih kode dan campur kode di Desa Geger
       .................................................................................................. Kecamatan Kedungadem Kabupaten Bojonegoro....................................................................................... .. 11
BAB III.  PENUTUP.......................................................................................... 18
                 3.1  Simpulan...................................................................................... 18
                 3.2  Saran............................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 20






BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Sebagai seseorang yang terlibat dengan penggunaan dua bahasa, dan juga terlibat dengan dua budaya, seorang dwibahasawan tentulah tidak terlepas dari akibat-akibat penggunaan dua bahasa itu. Salah satu akibat dari kedwibahasaan adalah adanya tumpang tindih antara kedua sistem bahasa yang dipakainya atau digunakannya unsur-unsur dari bahasa yang satu pada penggunaan bahasa yang lain.
Bahasa merupakan lambang yang arbriter (mana suka), tetapi konvensional. Sehingga pada praktiknya, manusia dalam menggunakan bahasa selalu menyesuaikan diri sesuai dengan situasi yang ada. Situasi tersebut dapat berupa “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Oleh karena itulah, dalam setiap komunikasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain selalu terjadi peristiwa pergantian bahasa yang disebut dengan alih kode dan pencampuran bahasa yang disebut dengan campur kode.
Malmaker (1992: 61-61) membedakan campuran sistem linguistik ini menjadi dua:
1.      Alih kode (code switching), yaitu beralih dari satu bahasa ke dalam bahasa lain dalam satu ujaran atau percakapan; dan
2.      Campur kode (code mixing/interference), yaitu penggunaan unsur-unsur bahasa, dari satu bahasa melalui ujaran khusus ke dalam bahasa yang lain.
Dalam makalah ini, penulis akan menganalisis pergantian bahasa (alih kode) dan pencampuran bahasa (campur kode) yang terjadi di lingkungan sekitar penulis, tepatnya di Desa Tangkisan, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga. Alasan penulis mengambil contoh alih kode dan campur kode yang terjadi dalam masyarakat sekitar penulis karena alih kode dan campur kode tersebut akrab dengan penulis dan menarik untuk diteliti. Hal yang menarik dari alih kode dan campur kode yang terjadi di lingkungan penulis adalah beragamnya bahasa dan situasi yang mereka gunakan sehingga pada perkembangannya alih kode dan campur kode tersebut akan mempunyai keunikan tersendiri yang mungkin tidak kita dapatkan di daerah lain. 

1.2    Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah yang diuraikan di atas maka permasalahan ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.         Apakah pengertian alih kode dan campur kode itu?
2.         Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode?
3.         Faktor-faktor penyebab dan tujuan melakukan alih kode atau campur kode?
4.         Apa sikap bahasa dan pemilihan bahasa?
5.         Fenomena alih kode dan campur kode di Desa Geger Kecamatan Kedungadem Kabupaten Bojonegoro?

1.3    Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk.
1.         Mengetahui pengertian alih kode dan campur kode itu.
2.         Mengetahui Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode.
3.         Mengetahui Faktor-faktor penyebab dan tujuan melakukan alih kode atau campur kode.
4.         Mengetahui sikap bahasa dan pemilihan bahasa.
5.         Mengetahui Fenomena alih kode dan campur kode di Desa Geger Kecamatan Kedungadem Kabupaten Bojonegoro.







BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian alih kode dan campur kode itu
1.   Pengertian alih kode
Alih kode adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu
a)    Alih Kode Ekstern. Bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan
b)   Alih Kode Intern. Bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
Menurut Appel (1976: 79) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 107), alih kode adalah gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Perubahan situasi tersebut bisa terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur, perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan perubahan topik pembicaraan. Oleh karena itulah, fishman (1976: 15) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 108) mengatakan bahwa seorang pemakai bahasa itu harus memperhatikan situasi tutur yang berupa “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”.




2.   Pengertian campur kode
Campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
a)    Campur kode ke dalam (innercode-mixing): Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
b)   Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing.
Bahasa dikatakan telah tercampur dengan kode lain apabila dalam peristiwa tutur itu hanya terdapat serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotomian sebagai sebuah kode (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 114). Sehubungan dengan hal tersebut, Thelander (1976: 103) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 115) juga menjelaskan bahwa campur kode terjadi apabila dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa mapun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tiada lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri. 
Selain itu, Fasold (1984) dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 115) berpendapat bahwa seseorang dikatakan telah melakukan campur kode jika dia menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa.




2.2  Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.

2.3  Faktor-faktor penyebab dan tujuan melakukan alih kode atau campur kode
Beberapa faktor penyebab terjadinya alih kode atau campur kode dipengaruhi oleh konteks dan situasi berbahasa yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pembicara dan Pribadi Pembicara
Pembicara kadang-kadang sengaja beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai maksud dan tujuan beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi non-formal yang tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara kadang-kadang melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan.

b. Mitra Bicara
Mitra bicara dapat berupa individu atau kelompok. Dalam masyarakat bilingual, seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat beralih kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang mempunyai latar belakang bahasa daerah yang sama. Misalnya, pembicara dan mitra bicara menggunakan bahasa Jawa beralih kode menggunakan bahasa Inggris karena hadirnya seorang penutur Inggris yang memasuki situasi pembicaraan.

c. Tempat Tinggal dan Waktu Pembicaraan Berlangsung
Pembicaraan yang terjadi di sebuah terminal bus di Indonesia, misalnya, dilakukan oleh masyarakat dari berbagai etnis. Dalam masyarakat yang begitu kompleks semacam itu akan timbul banyak alih kode dan campur kode. Alih bahasa atau campur kode itu dapat terjadi dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dan dari tingkat tutur suatu bahasa ke tingkat tutur bahasa yang lain.

e. Topik
Dengan menggunakan topik tertentu, suatu interaksi komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Alih kode dan campur kode dapat terjadi karena faktor topik. Topik ilmiah disampaikan dalam situasi formal dengan menggunakan ragam formal.

2.4  Sikap bahasa dan pemilihan bahasa
a.      Sikap Bahasa
Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Sesungguhnya, sikap itu adalah fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku.
Menurut Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan saraf, yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu.
Ketiga ciri sikap bahasa yang dikemukakan Garvin dan Mathiot itu adalah (1) kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengeruh bahasa lain, (2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, (3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunkan bahasa (language use).

b.      Pemilihan Bahasa
Menurut Fasold (1984) hal pertama yang terbayang bila kita memikirkan bahasa adalah ”bahasa keseluruhan” (whole languages). Dalam hal memilih ini ada tiga jenis pilihan yang dapat dilakukan, yaitu, pertama dengan alih kode, artinya, menggunakan satu bahasa pada satu keperluan, dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain. Kedua dengan melakukan campur kode, artinya, menggunakan satu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan dari bahasa lain. Ketiga, dengan memlilih satu variasi bahasa yang sama.
Penelitian terhadap pemilihan bahasa menurut Fasold dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan disiplin ilmu, yaitu berdasarkan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Di Indonesia secara umum digunakan tiga buah bahasa dengan tiga domain sasaran, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.

2.5  Fenomena alih kode dan campur kode di Desa Geger Kecamatan Kedungadem Kabupaten Bojonegoro
1.      Fenomena alih Kode
1. Alih Kode karena Pembicara atau penutur
Seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan “keuntungan” atau “manfaat” dari tindakannya itu.
Contohnya:
Latar belakang     :  kantor kecamatan Mrebet
Para pembicara    :  petugas pembuat KTP dan KK, Bapak Nanang (salah seorangyang ingin membuat KTP dan KK), Nafi’ dan Umi (orang yang sedang mengantri untuk membuat KTP dan KK).
Topik                   :  syarat membuat KTP
Sebab alih kode   :  tidak ingin bahasa yang diucapkan diketahui maksudnya oleh orang lain.
Peristiwa tutur     :  Petugas pembuat KTP dan KK : Pak, niki datane putra Bapak nopo nggih? Damel KTP-ne tahun 2009 mawon, niki umure kirang setahun. (Pak, apa ini data putra Bapak? Membuat KTPnya tahun 2009 saja, ini umurnya kurang satu tahun).
Bapak Nanang     :  Nggih sampun (ya sudah). Petugas pembuat KTP dan KK : Damel KTP-ne kangge keperluan nopo? (Membuat KTP untuk keperluan apa?)
Bapak Nanang     :  Nggih….sekalian damel supados mboten wira-wiri teng mriki (ya….sekalian buat supaya tidak bolak-balik ke sini).
Mendengar percakapan tersebut, Nafi’ dan Umi yang sedang mengantri untuk membuat KTP berkomentar, tetapi dengan menggunakan alih kode ke dalam bahasa Inggris supaya petugas pembuat KTP dan KK dan Bapak Nanang tidak tahu dengan apa yang dibicarakan oleh keduanya.
Nafi’                    :  Um….it’s too early to make KTP
(Um….itu terlalu cepat untuk membuat KTP).
Umi                     :  Maybe, his child wants to get married
(mungkin anaknya akan menikah).
Nafi’                    :  Doesn’t he know that making KTP someone’s age is about 17 years old? (apakah bapak itu tidak tahu bahwa untuk membuat KTP umur seseorang kira-kira harus 17 tahun?)
Umi                     :  I don’t know (saya tidak tahu).
Nafi’                    :  Luckily, the officer is very careful.
(untungnya, petugas itu sangat cermat)

Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat kita ketahui bahwa alih kode yang dilakukan oleh Nafi’ dan Umi tersebut dimaksudkan supaya petugas pembuat KTP dan KK dan Bapak Nanang tidak mengetahui kalau mereka sedang dibicarakan oleh Nafi’ dan Umi sehingga mereka tidak tersinggung. Akan tetapi, jika Nafi’ dan Umi tidak menggunakan alih kode ke dalam bahasa Inggris, mungkin petugas pembuat KTP dan KK dan Bapak Nanang akan tersinggung karena mereka merasa dibicarakan oleh Nafi’ dan Umi. Oleh karena itu, alih kode yang dilakukan oleh Nafi’ dan Umi adalah untuk memperoleh “keuntungan” atau “manfaat”.

2. Alih Kode karena Pendengar atau Lawan Tutur
Pendengar atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Hal ini terjadi karena si penutur ingin menghormati lawan tuturnya. Dalam hal ini lawan tutur merupakan orang yang lebih tua dan orang yang dihormati oleh si penutur.
Misalnya:
Latar belakang     :  depan TV di rumah eyang.
Para pembicara    : Nilna, Nana, dan eyang.Topik : acara TV yang berjudul “Marimar”
Sebab alih kode   :  menghormati orang yang lebih tua (eyang)
Peristiwa tutur     :
Nilna                    : donge Sergio teli aja mabok-mabokan Angger mabok-mabokan kan dadine ora sadar. Masa, Inosensia diambung ndarani Marimar? (seharusnya Sergio tidak mabuk-mabukan. Kalau mabuk-mabukan kan menjadi tidak sadar. Inosensia dicium karena disangka Marimar).
Nilna                    :  lah….kuwe kan wis diatur neng sutradarane. Nggo ngapa pusing-pusing! (itu kan sudah diatur oleh sutradaranya. Untuk apa pusing-pusing!).
Nilna                    :  wadeh, deh ! ya wis lah……..mengko manden rampunge bahagia (sebel, deh ! ya sudah lah…..nanti juga pasti berakhir dengan bahagia).
Eyang                  :  ana apa sih, berisik banget? (ada apa sih, kok berisik?)
Nilna                    : niki yang, film Marimar (ini nek, film Marimar)
Eyang                  :  film Indonesia apa? 
Nana                    :  sanes yang, niki film Filipina (bukan nek, ini film Filipina).
Eyang                  :  deneng rame temen? (kok ramai banget?)
Nana : Nggih yang, ceritane sae sanget! (iya nek, ceritanya bagus sekali).

Berdasarkan ilustrasi di atas, Nilna dan Nana beralih kode menggunakan bahasa kromo karena menghormati orang yang lebih tua (neneknya). Jika mereka tetap menggunakan bahasa ngoko, pasti mereka akan dicap sebagai anak yang tidak bisa menghormati orang yang lebih tua.

3. Perubahan Situasi dengan Hadirnya Orang Ketiga
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak tahu bahasa yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode.
Misalnya:
Latar belakang     :  ruang tamu
Para pembicara    :  Umi dan Niam yang sejak kecil hidup di wilayah karesidenan Banyumas, dan Susmiati yang sejak kecil hidup di Jakarta sehingga dia tidak dapat berbahasa Jawa Banyumasan.
Topik                   : Objek wisata Ancol
Sebab alih kode   : hadirnya orang ketiga, yaitu Susmiati yang tidak bisa berbahasa Jawa Banyumasan karena sejak kecil hidup di Jakarta.
Peristiwa tutur     : 
Umi                     :  Am, Ancol apik banget ya! (Am, Ancol bagus sekali ya!)
Ko wis tau maring nganah urung? (kamu sudah pernah ke sana belum?
Niam                    :  urung (belum). Apa ko wis pernah maring nganah? (apa kamu sudah pernah ke sana?)
Umi                     :  Urung sih, aku cuma weruh neng TV karo diceritani Susmiati (belum sih, aku hanya melihat di TV dan mendapat cerita dari Susmiati).
Niam                    :  aku dadine ya, pengin diceritani (aku juga ingin mendapat cerita itu).
Umi                     : La kae, Susmiati (Itu Susmiati)
Niam                    :  Hai, Sus. Mau kemana? Aku minta diceritain tentang Ancol dong?
Susmiati               : iya beres. Tapi kapan-kapan saja yah! Soalnya aku lagi ada keperluan nich.
Niam                    : oke deh. 

Dari ilustrasi di atas, dapat kita lihat bahwa alih kode terjadi pada saat hadirnya orang ketiga, yaitu Susmiati yang memang sejak kecil sudah hidup di Jakarta sehingga dia tidak bisa bahasa Jawa Banyumasan. Jika Umi dan Niam tidak beralih kode dari bahasa Jawa Banyumasan ke bahasa Indonesia, mungkin komunikasi dengan Susmiati tidak akan berjalan lancar karena dia tidak paham dengan bahasa yang digunakan oleh Umi dan Niam.
4. Perubahan dari Formal ke Informal atau Sebaliknya
Contoh:
Latar belakang     : rumah ketua RT 02/01 desa Tangkisan.
Para pembicara    : Hasbi (Ketua Ikatan Remaja), Kusniah (Sekretaris Ikatan Remaja), Ahmad, Dedi, dan Dina (Bendahara Ikatan Remaja).
Topik                   : rapat penyelenggaraan pengajian halal bihalal.
Sebab alih kode : hal-hal yang dibicarakan adalah hal-hal yang serius.
Peristiwa tutur     :  Sebelum pengurus ikatan remaja yang lain datang, Kusniah dan Hasbi bercakap-cakap mengenai masalah pribadi dengan ragam informal.
Kusniah               : Bi, jere ko seneng karo batir sekolahe ko ya?
(Bi, katanya kamu naksir teman sekolahmu ya?)
Hasbi                   : Jere sapa? (kata siapa?)
Kusniah               : ya pokoke. Setelah pembicaraan itu, datang Ahmad, Dedi, dan Dina. Pembicaraan antara Kusniah dan Hasbi pun berhenti dan berganti ke ragam formal.
Hasbi                   : wah….teman-teman sudah datang, ayo kita mulai diskusinya.
Ahmad : ngomong-ngomong, sebentar lagi kan lebaran, kita seharusnya memfasilitasi para pemuda untuk bersilaturrahim supaya terjalin suasana kekeluargaan.
Dedi                    : betul, saya setuju. Bagaimana kalau kita mengadakan pengajian halal bihalal saja?
Kusniah               : itu ide bagus. Aku setuju sekali.
Hasbi                   : tapi dari mana kita memperoleh dananya?
Dina                     : mudah saja, kita bisa menarik iuran dari semua warga.
Hasbi                   : betul, aku setuju. Kapan kita mulai beraksi?
Kusniah               : besok saja kita mulai menyusun proposal kegiatannya. Semakin cepat semakin baik.

Dari ilustrasi di atas, dapat kita lihat bahwa sebelum diskusi dimulai, situasinya adalah tidak formal; tetapi begitu diskusi dimulai situasi berubah menjadi formal, maka terjadilah peralihan kode yang awalnya dari bahasa ngoko Banyumasan lalu berubah menjadi bahasa Indonesia ragam formal. 

5. Perubahan Topik Pembicaraan
Perubahan topik pembicaraan dapat kita lihat pula pada contoh nomor 4. Dari ilustrasi contoh nomor 4 di atas, dapat kita lihat ketika topiknya tentang masalah pribadi, maka percakapan itu berlangsung dalam bahasa Jawa Banyumasan. Tetapi ketika topiknya bergeser pada diskusi tentang rencana penyelenggaraan pengajian halal bihalal, terjadilah alih kode dari bahasa Jawa Banyumasan ke bahasa Indonesia. 

2.      Fenomena campur Kode
Di sebuah ruang tamu, tepatnya di depan TV ada Tito (yang sejak SMA sampai kuliah mengambil jurusan bahasa Inggris) dan Andi melakukan sebuah percakapan. Mereka berdebat masalah keterlambatan mengerjakan tugas.
Tito                      : donge ko angger ngerjakna tugas li aja mepet-mepet supaya hasile ya apik. Jere kepengin dadi ‘a good writer’.
(seharusnya kamu kalau mengerjakan tugas itu tidak mendadak supaya hasilnya juga bagus. Katanya kamu ingin menjadi ‘a good writer’).
Andi                    : Iya sih, tapi kepriwe maning. Idene nembe muncul angger lagi kepepet.
(iya sih, tapi bagaimana lagi. Ide baru muncul kalau lagi terjepit).
Tito                      : iya, tapi diusahakna lah…
Angger ko pusing kan aku dadi kena batune juga
(iya, tapi diusahakanlah……kalau kamu pusing kan aku jadi terkena imbasnya juga).
Berdasarkan percakapan di atas, tampak bahwa Tito telah melakukan campur kode yang terlihat pada frase ‘a good writer’. Campur kode di atas dilakukan oleh Tito karena dia sudah terbiasa dengan pemakaian bahasa Inggris sehingga secara sadar maupun tidak sadar, bahasa Inggris itu akan selalu terbawa ke dalam bahasa yang dia pakai.


























BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Alih kode (code switching), yaitu beralih dari satu bahasa ke dalam bahasa lain dalam satu ujaran atau percakapan. Campur kode (code mixing/interference), yaitu penggunaan unsur-unsur bahasa, dari satu bahasa melalui ujaran khusus ke dalam bahasa yang lain.
Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.
Faktor penyebab terjadinya alih kode atau campur kode dipengaruhi oleh konteks dan situasi berbahasa.
Garvin dan Mathiot itu adalah (1) kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengeruh bahasa lain, (2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
Ada tiga jenis pilihan yang dapat dilakukan, yaitu, pertama dengan alih kode, campur kode,  dan memlilih satu variasi bahasa yang sama. Alih kode dan campur kode pada dasarnya sama-sama merupakan peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat bilingual. Alih kode terjadi karena adanya pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur, perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan perubahan topik pembicaraan. Alih kode selalu digunakan oleh seseorang berdasarkan situasi tutur “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. 
Sedangkan campur kode terjadi karena seseorang memakai satu kata atau satu frase dari satu bahasa. Campur kode biasanya digunakan karena kebiasaan si penutur dalam memakai bahasa tertentu yang secara sadar maupun tidak sadar akan masuk ke dalam bahasa yang dia pakai.

3.2 Saran
Disarankan agar untuk
1.      Menggunakan bahasa sesuai dengan konteksnya.
2.      Melestarikan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
3.      Menumbuhkan jiwa nasionalisme dengan menerapkan bahasa Indonesia di manapun dan kapanpun.






















DAFTAR PUSTAKA

        Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 2004. Sosioliinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 
        Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
        Suwito. 1983. Awal Pengantar Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Surakarta: Andi.